Kami tidak pernah menyangka, kalau menjalankan sinemaindonesia akan membuat kami begitu menderita. Setelah minggu lalu Ferry Siregar kelilipan korek api (dan yang tambah menyedihkan, banyak yang mengira itu hanyalah sebuah lelucon), sekarang saya menulis review ini dengan mata kiri bengkak dan berwarna biru. Sampai saat ini masih terasa nyut-nyutan. Sakitnya lagi, mata saya biru karena ditonjok oleh sahabat saya sendiri, Ferry Siregar. Begitu keluar dari bioskop setelah nonton film Garasi, saya bercanda, “Ternyata anak-anak indie itu cemen banget, ya?”. BUK! Tinju Ferry mendarat di mata saya.
Saya memaafkan Ferry karena saya paham perasaanya. Ferry selama ini bangga sebagai anak indie. Biarpun band-nya Ferry cuman sempat manggung dua kali dan cuman dapat bayaran nasi goreng dan yogurt, tapi dia merasa bahwa jadi anak indie adalah identitas yang paling dia banggakan. Sekarang identitas itu hilang karena film Garasi. Dia menolak disebut sebagai anak indie lagi. Bahkan, setiap kali dia mendengar kata “indie”, dia selalu berteriak-teriak. Ibu kos kami, yang punya anak perempuan bernama Indira, juga ditonjok oleh Ferry saat dia memanggil anaknya, “Indiiii..!”?. Bruuk! Ibu kos kami jatuh terduduk di ember. Sekarang kami harus mencari tempat kos baru. Tadi pagi saya menemukan tempat kos yang asik, tapi saya mengurungkan niat begitu mengetahui ibu kosnya punya anak bernama Indiana.
Lupakan moto immortal “sex, drugs, and rock ‘n roll”. Garasi telah menggantinya jadi “pedoman, penghayatan, dan pengamalan Pancasila.” Saya tidak tahu harus mulai dari mana karena Garasi, film yang mengklaim dirinya sebagai film tentang band indie, justru terlihat dan terdengar sebagai penghinaan terhadap segala sesuatu yang berasosiasi dengan jiwa band indie, dan rock pada umumnya.
Kesalahan utama Garasi bukan karena ide dasarnya (tentang tiga orang anak muda ngebentuk band terus berantem) sudah sering kita liat sebelumnya (That Thing You Do, Josie and the Pussycats, Unyil Bikin Band DeKil). Itu sih nggak apa-apa. Karena yang penting gimana detil dan eksplorasi karakternya. Tapi ada nggak detil tentang orang bikin band di film ini? Ada nggak gimana anggota Garasi berdebat ngomongin sound mereka mau kayak apa? Nggak ada tuh. Yang ada malah elemen cemen kayak material sinetron: vokalis band Garasi ternyata menyimpan rahasia yang sangat BESAR. Dia adalah anak haram. HA?? SO WHAT GITU LOOOW… Trus, masa cuman gara-gara dia anak haram, dia diusir dari kosnya. Ibu kosnya bilang, “Ini lingkungan orang baik-baik” Untung dia nggak bilang gitu ke Ferry. Bisa ditonjok.
****
Kata yang tepat untuk menggambarkan film Garasi adalah: artifisial. Ketimbang mengeksplorasi bagaimana jiwa band-band indie yang sebenernya, film ini berusaha keras untuk terlihat indie dengan menggunakan nama-nama yang obvious.
– Nama Band garasi: Garasi
– Nama club tempat band indie manggung: Klub Indie
– Merek celana dalem yang dipake karakternya: Kolor (nggak ding. Ini cuman bikinan saya).
Bahkan saat adegan di sebuah stasiun radio, saat band garasi diinterview kenapa mereka ngebuat band, mereka menjawab dengan tulus “Karena kami sangat mencintai musik.” Duh.
Dialog? Karakter-karakternya berbicara seperti di film Gie.
Sekarang mari ngebahas musik. Kita lupain aja musik skornya yang dipenuhi denting piano dan petikan gitar corny. Lagu-lagu yang dibikin oleh Andy Ayunir bersama ketiga aktor utama film ini memang lumayan bagus. Tapi saya nggak percaya kalau lagu-lagunya sampai bisa membuat orang-orang nge-fans sama mereka (siapa tuh yang nyanyiin lagu Garasi pas adegan di kereta atau bis sambil dengerin walkman dengan overacting? Tolong ditampar dong). Dan sampe salah satu anggota d’Lawas sampe naik meja sambil memperdengarkan Garasi main di telpon? Oh my God. Dan sampe para wartawan nungguin di depan rumah personel Garasi sampe mereka nggak bisa keluar rumah? Kayaknya cuman satu band deh yang bisa dapet perhatian kayak gitu. Dan namanya The Beatles.
Kalau anda memutuskan untuk nonton, coba hitung ada berapa adegan anggota band Garasi merenung di jembatan penyeberangan. Tapi mungkin juga ini kebiasaan anak-anak indie. Buat kontemplasi kali, ya.
Satu lagi, setelah merilis Gie, mungkin Miles Films pengen dianggap sebagai perusahaan film yang nasionalis. Tapi nggak perlu ngegabungin band indie sama gamelan dong, ah. Sudahlah.
Tanggal 19 Januari, yang ditandai oleh dirilisnya film berjudul “Garasi”, pantas ditetapkan sebagai hari berkabung buat band-band indie, dan buat siapapun yang berjiwa rock ‘n roll. Untung saya bukan anak indie. Masalah saya sekarang cuman satu, bagaimana caranya bisa masuk rumah tanpa ditonjok oleh Ferry karena saya sudah membuka sedikit identitasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar